7 Proyek – Tak ada lagi kata “penonton” di festival film internasional. Indonesia kini berdiri di barisan depan, membawa karya-karya sinematik yang tak hanya mengguncang emosi, tapi juga mencetak identitas. Di Cannes 2025, tujuh proyek film dari Tanah Air unjuk gigi, memaksa dunia melirik. Mulai dari “Jumbo” yang penuh absurditas hingga “Pangku” yang penuh luka sosial—semuanya bukan sekadar film. Mereka adalah slot bonus.
Jumbo: Ketika Fantasi dan Kegilaan Menabrak Realita
“Jumbo” adalah kegilaan yang dibungkus sinematografi cerdas. Di sutradarai oleh Tumpal Tampubolon, film ini tidak main-main soal tema. Mengisahkan seekor gajah raksasa misterius yang muncul di pinggiran kota kecil, film ini seperti metafora tentang beban sejarah, trauma kolektif, dan absurditas masyarakat modern. Gambar-gambarnya surealis, dialognya singkat namun menusuk. Ini bukan tontonan ringan. Ini pengalaman.
Pangku: Peluk yang Terlambat
Film garapan Yosep Anggi Noen ini punya judul yang hangat: “Pangku”. Tapi isinya adalah serangan emosional bertubi-tubi. Cerita tentang hubungan ibu dan anak yang terpisah oleh waktu dan konflik keluarga ini di garap dengan penuh sensitivitas dan ketegangan. Musiknya pelan, tapi setiap not terasa seperti peluru. Ini adalah proyek yang menyayat tanpa perlu athena168. Cannes menyukainya karena jujur, telanjang, dan penuh luka.
Lengang: Sunyi yang Menghantui
Karya eksperimental dari Mouly Surya ini benar-benar menjadi perbincangan. “Lengang” mengambil tempat di desa terpencil yang di huni hanya oleh para janda. Tanpa banyak dialog, film ini berbicara lewat cahaya dan komposisi gambar yang memukau. Keheningan dalam film ini bukan kosong, tapi penuh bisikan, kenangan, dan penyesalan. Penonton Cannes di buat tak berkutik. Indonesia hadir lewat narasi yang tak biasa—dan itu sukses besar.
Kapling 23: Kematian yang Terlalu Nyata
“Kapling 23” adalah sindiran sosial yang di tulis dan di sutradarai oleh Ifa Isfansyah. Mengambil latar pemakaman umum di tengah kota Jakarta yang padat, film ini mengeksplorasi absurditas birokrasi bahkan dalam urusan kematian. Pemeran utama, seorang petugas penggali kubur, membawa penonton masuk ke dunia yang lucu sekaligus mengerikan. Ini bukan sekadar kritik. Ini tamparan.
Peluh: Tubuh, Keringat, dan Politik
Film dokumenter “Peluh” tampil dengan narasi brutal tentang buruh perempuan di industri garmen. Di sutradarai oleh Dwi Sujanti Nugraheni, proyek ini membuat mata dunia terbuka lebar. Tak ada penyaringan gambar. Kamera mengikuti secara mentah, memperlihatkan bagaimana keringat mereka di komodifikasi. Cannes menaruh respek tinggi. Sebuah karya jujur, keras, dan tak memberi ruang untuk pura-pura situs slot resmi.
Ayat Tanpa Hujung: Puisi dan Pemberontakan
Di sutradarai oleh Edwin, “Ayat Tanpa Hujung” adalah puisi visual yang mengguncang. Mengisahkan seorang penyair jalanan yang di tuduh subversif oleh aparat, film ini penuh dengan metafora dan sindiran terhadap kebebasan berekspresi. Gaya sinematografi eksperimentalnya membuat banyak kritikus terpana. Film ini menjadi semacam doa panjang bagi mereka yang memilih diam namun menyimpan bara.
Cerita Dari Balik Jeruji: Suara yang Tak Pernah Di dengar
Satu-satunya film berbasis animasi dalam deretan ini, proyek dari sineas muda bernama Lintang Rahmani ini mengejutkan banyak orang. “Cerita Dari Balik Jeruji” di buat berdasarkan kisah nyata napi remaja. Gaya visualnya mengingatkan pada animasi Eropa, namun narasinya begitu khas Indonesia. Suara-suara yang selama ini di bungkam, di munculkan dengan gaya artistik berani dan nyaris surealis.
Indonesia Tak Lagi Sekadar Penonton
Ketujuh proyek ini bukan kebetulan. Mereka adalah hasil dari pembinaan, keresahan, dan keberanian sineas Indonesia untuk menabrak batas. Cannes 2025 bukan hanya tempat untuk pamer film; ia menjadi panggung pengakuan bahwa cerita dari negeri ini layak di bicarakan, di perdebatkan, bahkan di takuti. Tak ada lagi istilah film lokal sebagai “pengisi slot kosong bioskop”—Indonesia kini resmi masuk arena utama sinema dunia.